PENANTIAN CINTA
Oleh: Khadijah ramadhanti
Oleh: Khadijah ramadhanti
Semenjak kepergian Daffa ke Negeri Piramid untuk
melanjutkan sekolahnya, Sarah terlihat sangat murung. Ia lebih memilih untuk
mengurung diri di kamar dari pada bergaul dengan teman-temannya di lingkungan
pesantren. Sarah telah kehilangan sosok pemberi semangat dalam hidupnya, sosok
yang sangat ia hargai dan hormati.
Teringat akan kata-kata terakhir yang diucapkan Daffa, “Kamu
harus semangat untuk melanjutkan sekolahmu dan jangan sampai mengecewakan ke
dua orang tua, karena engkaulah satu-satunya tempat bergantungnya harapan orang
tuamu”. Bercucurlah air mata Sarah mengingat kata-kata itu. Berminggu-minggu ia
tidak mau makan, minum, bahkan di kelas yang dulunya ia periang, sekarang
terlihat murung. Seringkali sahabatnya Rani menghibur agar ia kembali dengan
sifatnya yang dulu. Minggu besok adalah hari terakhir Sarah di pesantren karena
ia akan keluar dari pesantren itu, orang tuanya tidak mempunyai biaya untuk
menyekolahkan Sarah di pesantren, karena adik-adiknya masih banyak yang
membutuhkan uang untuk biaya pendidikan.
Hari yang ditunggu-tunggu itu datanglah, Rani sahabat Sarah
merasa sangat kehilangan sosok teman yang selalu mengajari dan sekaligus
sebagai kakak dalam pesantren Nurul Yakin. Kakak panggil Rani, “Kita pasti akan
bertemu lagikan ?”. “Kamu tenang saja kakak akan sering-sering mengunjungi kamu
dan kita makan bersama di kantinnya mbok minah, kamu maukan ?” tanya Sarah. “Iya
kak saya mau”, jawab Rani. Kemudian Sarah berlalu meninggalkan pesantren yang
sudah 2 tahun tempat ia menimba ilmu. Sesampainya di rumah ibu Sarah sangat
sedih atas kepulangan Sarah ke rumahnya, karena ia merasa bersalah tidak bisa
membiayai pendidikan Sarah sampai ke perguruan tinggi. Cita-cita Sarah yang
ingin menyusul Daffa ke negeri piramid pupus sudah, padahal kata Pak Romlan
yang mengajarnya di pesantren mengatakan bahwa Sarah mempunyai potensi untuk
melanjutkan sekolah di Kairo, tapi kata-kata itu hanya tinggal kenangan.
Ditambah lagi dengan harapan Sarah yang sangat kecil untuk bertemu dengan
kekasih hati.
Raja siang telah enggan menamPakkan sinarnya. Sinar
rembulan yang menggantikan raja siang untuk menyinari alam semesta, tetapi
tidak untuk hati Sarah, karena yang bisa menyinari hati Sarah itu hanyalah Daffa
sang pujaan hati. “APakah saya tidak pantas untuk merasakan indahnya cinta pada
mahkluk yang Engkau ciptakan, Ya Allah berikanlah petunjuk bahwa Engkau
mengizinkan hamba untuk menjaga hati hamba kepada Daffa dan berikanlah jalan
untuk Daffa agar ia bisa menggapai cita-citanya dan segera kembali ke Indonesia”.
Di seberang sana di Negeri Piramid Daffa sibuk dengan
tugas-tugas di kampus yang diberikan dosennya. Ia berharap bahwa suatu saat
nanti setelah ia menjadi orang yang sukses ia dapat menyunting Sarah dan
membahagiakan Sarah serta cintanya sampai di syurga. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Dalam hati ia berbisik, “Semoga Sarah menjaga hati dan kesuciannya untuk
dirinya”. Tiba-tiba Thorik mengagetkan Daffa dengan suaranya yang keras, sampai-sampai
teman-teman dari Indonesia yang juga menuntut ilmu di Kairo ikut kaget karena
suara Thorik. “Kau ini mengagetkanku saja, memang tidak ada kerjaan ya ?”.
“Habisnya sih kau melamun saja jangan-jangan kau memikirkan Sarah ya,
ayoooo.....”!!!!. “Sudahlah Daffa tenang saja Sarah tidak akan berpaling ke
lain hati”. Sarahku janganlah engkau lari daripadaku (dengan gaya orang yang
sedang berpuisi Thorik menggoda Daffa). “Ada-ada saja kamu ini”, sambung Daffa.
“Oh ya rik, bagaimana cara menelpon ke Indonesia ?”. “Soalnya
saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Pak Romlan, berkat beliau kita
dengan mudah sampai di Kairo dan melanjutkan pendidikan Al-Azhar”, tanya Daffa
ke Thorik. “Oh...ya ya, itu ide bagus, semenjak kita di Kairo belum ada
menghubungi Pak Romlan”. Kemudian merekapun menghubungi Pak Romlan.
Di seberang sana Pak Romlan yang sedang asyik mengajari
para santri membaca kitab kuning di pendopo masjid, dipanggil oleh salah
seorang staf pengajar lain, Ustadzah Khadijah, bahwa ada telpon dari Kairo. “Assalamu’alaikum
Pak ada telpon dari Kairo Pak untuk Bapak”. “Dari siapa Ustadzah ?” katanya
dari nak Daffa. “Oh...tunggu sebentar, saya akan segera kesana”. Beberapa menit
kemudian sampailah Pak Romlan di kantor majelis guru. “Assalamu’alaikum...!!”.
“Wa’alaikum salam, ini saya Pak, Daffa”. “Oh.. nak Daffa, khaifa haluk nak Daffa
?”. “Alhamdulillahi bil khairi, wa anta Ustads ?”. “Alhamdulillah baik juga nak
Daffa”. “Begini Pak, kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak, berkat bantuan
Bapak, kami akahirnya bisa kuliah di Kairo dan tahun depan Insya Allah akan
wisuda”. “Alhamdulillah... semoga ilmu yang kamu dan teman-temanmu yang lain
dapat dimanfaatkan dan bisa kembali ke Indonesia untuk mengajari adik-adik yang
ada di pesantren ini”. “Bagaimana kabar santri-santri disana Pak ? Apa ada yang
menyusul kami disini ?”.
“Kalau adik-adik kamu disini Alhamdulillah sehat,
kelihatannya ada beberapa orang yang akan menyusul kamu disana, tapi ada salah
seorang santri yang Bapak sayangkan dengan kemampuannya, padahal ia sangat
cerdas dan mampu untuk melanjutkan pendidikan di Kairo, tapi ia sudah keluar
dari pesantren ini”. “Kenapa begitu Pak ?”, “karena orang tuanya tidak mampu
lagi membiayai pendidikannya disini”. “Kalau boleh saya tahu siapa santri itu Pak,
mungkin kita disini bisa sedikit banyak membantu”. “Namanya Sarah Humaira,
mungkin nak Daffa kenal dengannya, karena ia termasuk santri yang aktif di
pesantren ini ?”
Mendengar kata-kata dari Pak Romlan, lemahlah seluruh
persendian tubuh Daffa, ia merasakan bagaimana perasaan Sarah yang tidak bisa
melanjutkan pendidikannya, ia tahu bahwa Sarah ingin sekali melanjutkan
pendidikannya di Kairo setelah tamat dari pesantren nanti. Daffa mencoba untuk
tetap tenang, dengan suara lirih Daffa menjawab, “Apa yang harus kami lakukan
untuk membantunya Pak ?”. “Saya rasa mungkin kita harus membujuknya untuk
kembali ke pesantren tanpa harus memikirkan biaya pendidikannya dan mengajukan
beasiswa untuk melanjutkan pendidikan Sarah ke Kairo”. “Itu ide yang sangat
bagus Pak, kami disini juga akan mencarikan sedikit dana dan tempat tinggal
untuk ia di Kairo nanti dan juga para santri yang lain”. “Ya sudah untuk
masalah itu Bapak serahkan kepada nak Daffa
dan teman-teman”. “Baiklah nak Daffa hati-hati disana, Assalamu’alaikum”.
“Wa’alaikum salam jawab Daffa”.
Setelah pembicaraan singkat Daffa dengan Pak Romlan, Daffa
segera mengambil wudhuk dan sholat Isya, selesai sholat Daffa memanjatkan do’a
kepada sang pencipta agar diberikan jalan kepada Sarah untuk bisa melanjutkan
pendidikannya ke Kairo, dengan sangat khusuk dan bercucuran air mata Daffa memohon agar Allah swt mengabulkan
do’anya. Daffa mencintai Sarah bukan karena kecantikan Sarah, tetapi karena
kesopanan, kelembutan,
kebaikan hati, dan ketaatannya sebagai hamba Allah swt.
Tetapi Allah berkehendak lain, Sarah tidak dapat
melanjutkan pendidikannya ke Kairo. Sarah hanya bisa melanjutkan pendidikan di
salah satu perguruan tinggi islam di Semarang. Sarah dan Daffa melalui
hari-hari mereka dengan kegiatan masing-masing. Hari berganti dengan minggu,
minggu berganti dengan bulan, dan bulanpun berganti dengan tahun, tidak terasa
waktu begitu cepat berlalu, ternyata sudah 5 saja Daffa tidak bertemu dengan Sarah.
Tepat pada tanggal 20 Februari 2012, Daffa telah
menyelesaikan studinya dan jika Allah mengizinkan 2 minggu lagi ia akan pulang
ke tanah air dengan membawa prestasi sebagai mahasiswa terbaik di Universitas
Al-Azhar, Kairo. Dua minggu kemudian Daffa dan mahasiswa Indonesia lainnya
pulang ke Indonesia dengan membawa prestasi dan oleh-oleh yang telah mereka
persiapkan sebelumnya.
Jam 17.00 waktu Indonesia bagaian barat pesawat Garuda Indonesia
Airways yang membawa Daffa dan penumpang lainnya mendarat di bandara Soekarno-Hatta.
Setelah turun dari pesawat Daffa disambut oleh keluarga, Pak Romlan, dan
tentunya Sarah yang sudah lama ingin berjumpa dengan Daffa.
Betapa gembiranya Daffa hari itu. Dua hari sesudah
kepulangan Daffa ke Indonesia, Pak Romlan menawarkan Daffa mengajar di
pesantren Nurul Yakin. Dengan senang dan ikhlas Daffa menerima tawaran Pak
Romlan dan esok harinya Daffapun sudah mulai mengajar di sana. Sore itu selesai
mengajar Daffa berniat menceritakan perasaannya terhadap Sarah kepada Pak
Romlan bahwa ia ingin Pak Romlan mengkhitbah Sarah untuk dirinya. Mendengar
keinginan Daffa Pak Romlan dengan senang hati membantu Daffa untuk menyampaikan
keinginannya mengkhitbah Sarah kepada orang tua Sarah. Penantian cinta yang
panjang antara Daffa dan Sarah berakhir
dengan bahagia. Merekapun menjadi sebuah keluarga yang dirindu syurga.
The end
Tidak ada komentar:
Posting Komentar