TRAGEDI
BUMI PERTIWI
Oleh: Khadijah ramadhanti
Indonesia sebagai salah satu
negara yang merdeka dari penjajahan. Dimana rakyatnya tidak lagi di ancam dan
di paksa untuk bekerja serta menyerahkan seluruh harta dan jiwanya kepada para
penjajah yang tidak memiliki hati nurani. Perjuangan para pahlawan, rakyat
indonesia, dan semua pihak yang gigih bejuang tanpa kenal lelah mengusir para
penjajah telah mengantarkan rakyat indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan
indonesia.
Rakyat yang dulunya tidak
memiliki asa untuk masa depan bumi pertiwi di tambah lagi ketakutan yang luar
biasa pada para penjajah membuat bangsa ini mengalami keterpurukan yang semakin
dalam. Tetapi sejak adanya gerakan kebangkitan pada masa itu, rakyat tidak lagi
takut kepada para penjajah. Indonesia seakan-akan telah terlepas dari rantai
yang selama ini mengikatnya di dalam jurang penderitaan. Bumi pertiwi sekarang
benar-benar sudah merdeka dari para penjajah. Yang menjadi pertanyaan bagi kita
sekarang adalah ‘’Apakah bangsa ini benar-benar sudah merdeka dari segala
bentuk yang membelenggunya?’’ Pertanyaan
inilah yang nantinya harus di jawab oleh bangsa indonesia sendiri.
Seabad setelah Budi Utomo
berdiri, kita rakyat indonesia mulai merasakan gerakan kebangkitan yang dulu, mulai
memudar seiring dengan berjalannya waktu, terdapat tanda-tanda bahwa ‘pikiran’
dan ‘keberaksaraan’ tak lagi menjadi ukuran kehormatan. Inteligensia dan
politisi berhenti membaca dan mencipta, karena kepintaran kembali dihinakan
oleh ‘kebangsawanan baru’: kroni dan kemewahan. Bangsa indonesia terlena akan
kemewahan duniawi, sehingga tak lagi berada pada jalur yang seharusnya mereka
tempuh.
Penaklukan daya pikir dan daya
literasi oleh pragmatisme dan banalisme membuat pola pikir kebangsaan
kehilangan daya refleksivitasnya? Tanpa menggunakan kemampuan intelektual dan
refleksi diri, bangsa kehilangan wahana untuk menakar, memperbaiki, dan
memperbaharui dirinya sendiri. Kapasitas pembelajaran yang tidak memadai
membuat bangsa indonesia secara keseluruhan tak ubahnya bergerak seperti mayat
hidup yang berjalan tanpa arah. Pertumbuhan penampilan fisiknya tidak lagi
diikuti dengan perkembangan rohaninya. Bentuk luar dari kemajuan peradaban
modern segera kita tiru, tanpa penguasaan sistem penalarannya. Dalam strategi kebudayaan,
kita cenderung mempertahankan yang buruk dan membuang yang baik.
Gerakan kebudayaan yang
mengeluhkan apa yang disebut Taufik Ismail sebagai ‘’generasi nol buku”, yang
berpotensi mengalami kelumpuhan daya tulis, daya baca, dan daya pikir, secara tepat
menyasar pusat syaraf kelumpuhan kebudayaan indonesia. Gerakan kebudayaan
seperti ini penting untuk melakukan koreksi terhadap kecenderungan untuk
menjadikan politik dan ekonomi sebagai panglima. Dalam teori sosial secara
umum, responsibilitas untuk perubahan biasanya dialamatkan pada faktor-faktor semacam modernisasi,
kapitalisme, imperialisme, figur karismatik atau individu-individu berpengaruh.
Pada kenyataan sekarang, hal
ini mengabaikan bahwa reformasi sosial tidak akan pernah muncul jika hanya mengandalkan
reformasi politik dan ekonomi, melainkan perlu berjejak pada reformasi
sosial-budaya. Dengan begitu, maka bangsa indonesia dapat berdiri kembali pada posisi yang sebenarnya. Gerakan
kebudayaan merupakan jantung dari reformasi sosial, dan reformasi sosial inilah
yang merupakan fungsi dari perubahan proses belajar sosial secara kolektif,
yang membawa tranformasi tata nilai, ide, dan jalan hidup. Dalam hal ini, minat
pengetahuan serta aktivitas produksi ide sangat esensial dalam mengonstruksikan
identitas kolektif baru yang memungkinkan gerakan sosial mampu memelihara
vitalitasnya. Dalam ketiadaan platform politik yang jelas, gerakan kebudayaan
menjadi alternatif menjaga kewarasan publik.
Dalam pernyataan Antonio
Skarmeta, Sastrawan Chile, “Jika modernitas bukan sekedar budaya efisiensi, dan
jika demokrasi bukan hanya pesta pemilihan dan penjelimetan prosedur politik,
akan selalu ada intelektual-sastrawan di seberang srtuktur politik berhadapan
dengan mereka yang memburu kekuasaan di luar institusionalisasi akademik dan
negara. Akan selalu ada intelektual-sastrawan yang melontarkan pertanyaan
jenaka, menafsirkan kembali kontroversi dengan memunculkannya lagi, untuk
menunjukkan bahwa hal-hal yang mungkin diabaikan agenda publik, atau digelapkan
oleh media masih absah dipertanyakan” (Skarmeta 1996: 48-49).
Tragis, ya itulah kata yang
mungkin terlontar ketika permasalahan yang terjadi di bumi pertiwi ini. Sudah
saatnya kita kembali pada jalan yang seharusnya, rakyat yang cenderung
menjadikan politik dan ekonomi sebagai panglima, sekarang dirubah dan di tata
kembali persepsi-persepsi yang menyimpang dan tidak sesuai dengan gerakan yang dahulu
kita tanamkan.
Agar perubahan yang baik itu
dapat terwujud dengan maksimal, bangsa indonesia harus menjadikan ilmu
pengetahuan sebagai panglima untuk mengatasi berbagai problema-problema yang
melanda bangsa ini dan mencanangkan gerakan kebudayaan, yaitu budaya membaca,
sehingga reformasi sosial dapat menjalankan fungsinya sebagai perubahan dari
proses belajar secara kolektif, untuk meningkatkan daya tulis, daya baca, dan
daya berpikir kita yang jauh masih rendah.
Kita harus menyadari bahwa
dengan banyak membaca kita dapat memperoleh informasi-informasi yang
dibutuhkan, dapat menilai atau mengevaluasi mana yang baik dan mana yang tidak
baik serta dapat mengejar ketertinggalan dari kecanggihan teknologi dan
informasi yang terjadi pada zaman sekarang ini. Dari pengetahuan-pengetahuan
itulah kita menjadi pribadi yang berkarakter baik dan berusaha bersama-sama
untuk menuju perubahan bangsa ke arah yang positif tanpa mendahulukan hal
duniawi dan kemewahan.
Budaya membaca tidak saja
dibudayakan oleh orang-orang penting bangsa ini, seperti para aktivis, tokoh
masyarakat, dan lembaga-lembaga terkait. Tetapi kepada seluruh rakyat indonesia
terutama pada generasi muda dan kaum pelajar, karena generasi muda dan kaum
pelajar adalah salah satu tonggak pemersatu bangsa dan sebagai penerus untuk
melanjutkan perjuangan dan cita-cita bangsa indonesia. Karakter bangsa
indonesia sendiri akan tercermin dari karakter yang dimiliki oleh generasi
mudanya, bagaimana bangsa indonesia untuk kedepanya menjadi lebih baik, hal
itulah yang menjadi tanggung jawab kita sebagai generasi muda.
Untuk membudayakan budaya
membaca haruslah dimulai dari diri kita sendiri, dengan kita memula, maka hal
tersulit apapun jika dengan sungguh-sungguh hal yang diinginkan akan tercapai.
Dalam realitanya, untuk memulai sesuatu hal tidaklah mudah, agar dapat
membudayakan budaya membaca pada diri masing-masing, maka terlebih dahulu
haruslah memahami pentingnya budaya membaca, akibat apa yang ditimbulkan jika
kita tidak sering membaca, manfaat apa yang didapat dari membaca, dan trik apa
yang cocok digunakan agar minat baca kita tinggi terhadap bahan-bahan bacaan
yang ada. Dengan begitu, reformasi sosial dari gerakan kebudayaan membaca akan
terlaksana dengan baik, juga kebangsawanan, kemewahan, dan politik ekonomi yang
dulunya sebagai panglima, sekarang telah berubah ke ilmu pengetahuan, serta
pikiran dan keberaksaraan kembali menjadi ukuran kehormatan dalam
kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar