Minggu, 11 November 2012

ARTIKEL

TRAGEDI BUMI PERTIWI
Oleh: Khadijah ramadhanti

Indonesia sebagai salah satu negara yang merdeka dari penjajahan. Dimana rakyatnya tidak lagi di ancam dan di paksa untuk bekerja serta menyerahkan seluruh harta dan jiwanya kepada para penjajah yang tidak memiliki hati nurani. Perjuangan para pahlawan, rakyat indonesia, dan semua pihak yang gigih bejuang tanpa kenal lelah mengusir para penjajah telah mengantarkan rakyat indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan indonesia.
Rakyat yang dulunya tidak memiliki asa untuk masa depan bumi pertiwi di tambah lagi ketakutan yang luar biasa pada para penjajah membuat bangsa ini mengalami keterpurukan yang semakin dalam. Tetapi sejak adanya gerakan kebangkitan pada masa itu, rakyat tidak lagi takut kepada para penjajah. Indonesia seakan-akan telah terlepas dari rantai yang selama ini mengikatnya di dalam jurang penderitaan. Bumi pertiwi sekarang benar-benar sudah merdeka dari para penjajah. Yang menjadi pertanyaan bagi kita sekarang adalah ‘’Apakah bangsa ini benar-benar sudah merdeka dari segala bentuk  yang membelenggunya?’’ Pertanyaan inilah yang nantinya harus di jawab oleh bangsa indonesia sendiri.
Seabad setelah Budi Utomo berdiri, kita rakyat indonesia mulai merasakan gerakan kebangkitan yang dulu, mulai memudar seiring dengan berjalannya waktu, terdapat tanda-tanda bahwa ‘pikiran’ dan ‘keberaksaraan’ tak lagi menjadi ukuran kehormatan. Inteligensia dan politisi berhenti membaca dan mencipta, karena kepintaran kembali dihinakan oleh ‘kebangsawanan baru’: kroni dan kemewahan. Bangsa indonesia terlena akan kemewahan duniawi, sehingga tak lagi berada pada jalur yang seharusnya mereka tempuh.
Penaklukan daya pikir dan daya literasi oleh pragmatisme dan banalisme membuat pola pikir kebangsaan kehilangan daya refleksivitasnya? Tanpa menggunakan kemampuan intelektual dan refleksi diri, bangsa kehilangan wahana untuk menakar, memperbaiki, dan memperbaharui dirinya sendiri. Kapasitas pembelajaran yang tidak memadai membuat bangsa indonesia secara keseluruhan tak ubahnya bergerak seperti mayat hidup yang berjalan tanpa arah. Pertumbuhan penampilan fisiknya tidak lagi diikuti dengan perkembangan rohaninya. Bentuk luar dari kemajuan peradaban modern segera kita tiru, tanpa penguasaan sistem penalarannya. Dalam strategi kebudayaan, kita cenderung mempertahankan yang buruk dan membuang yang baik.
Gerakan kebudayaan yang mengeluhkan apa yang disebut Taufik Ismail sebagai ‘’generasi nol buku”, yang berpotensi mengalami kelumpuhan daya tulis, daya baca, dan daya pikir, secara tepat menyasar pusat syaraf kelumpuhan kebudayaan indonesia. Gerakan kebudayaan seperti ini penting untuk melakukan koreksi terhadap kecenderungan untuk menjadikan politik dan ekonomi sebagai panglima. Dalam teori sosial secara umum, responsibilitas untuk perubahan biasanya dialamatkan  pada faktor-faktor semacam modernisasi, kapitalisme, imperialisme, figur karismatik atau individu-individu berpengaruh.
Pada kenyataan sekarang, hal ini mengabaikan bahwa reformasi sosial tidak akan pernah muncul jika hanya mengandalkan reformasi politik dan ekonomi, melainkan perlu berjejak pada reformasi sosial-budaya. Dengan begitu, maka bangsa indonesia dapat berdiri kembali  pada posisi yang sebenarnya. Gerakan kebudayaan merupakan jantung dari reformasi sosial, dan reformasi sosial inilah yang merupakan fungsi dari perubahan proses belajar sosial secara kolektif, yang membawa tranformasi tata nilai, ide, dan jalan hidup. Dalam hal ini, minat pengetahuan serta aktivitas produksi ide sangat esensial dalam mengonstruksikan identitas kolektif baru yang memungkinkan gerakan sosial mampu memelihara vitalitasnya. Dalam ketiadaan platform politik yang jelas, gerakan kebudayaan menjadi alternatif menjaga kewarasan publik.
Dalam pernyataan Antonio Skarmeta, Sastrawan Chile, “Jika modernitas bukan sekedar budaya efisiensi, dan jika demokrasi bukan hanya pesta pemilihan dan penjelimetan prosedur politik, akan selalu ada intelektual-sastrawan di seberang srtuktur politik berhadapan dengan mereka yang memburu kekuasaan di luar institusionalisasi akademik dan negara. Akan selalu ada intelektual-sastrawan yang melontarkan pertanyaan jenaka, menafsirkan kembali kontroversi dengan memunculkannya lagi, untuk menunjukkan bahwa hal-hal yang mungkin diabaikan agenda publik, atau digelapkan oleh media masih absah dipertanyakan” (Skarmeta 1996: 48-49).
Tragis, ya itulah kata yang mungkin terlontar ketika permasalahan yang terjadi di bumi pertiwi ini. Sudah saatnya kita kembali pada jalan yang seharusnya, rakyat yang cenderung menjadikan politik dan ekonomi sebagai panglima, sekarang dirubah dan di tata kembali persepsi-persepsi yang menyimpang dan tidak sesuai dengan gerakan yang dahulu kita tanamkan.
Agar perubahan yang baik itu dapat terwujud dengan maksimal, bangsa indonesia harus menjadikan ilmu pengetahuan sebagai panglima untuk mengatasi berbagai problema-problema yang melanda bangsa ini dan mencanangkan gerakan kebudayaan, yaitu budaya membaca, sehingga reformasi sosial dapat menjalankan fungsinya sebagai perubahan dari proses belajar secara kolektif, untuk meningkatkan daya tulis, daya baca, dan daya berpikir kita yang jauh masih rendah.
Kita harus menyadari bahwa dengan banyak membaca kita dapat memperoleh informasi-informasi yang dibutuhkan, dapat menilai atau mengevaluasi mana yang baik dan mana yang tidak baik serta dapat mengejar ketertinggalan dari kecanggihan teknologi dan informasi yang terjadi pada zaman sekarang ini. Dari pengetahuan-pengetahuan itulah kita menjadi pribadi yang berkarakter baik dan berusaha bersama-sama untuk menuju perubahan bangsa ke arah yang positif tanpa mendahulukan hal duniawi dan kemewahan.
Budaya membaca tidak saja dibudayakan oleh orang-orang penting bangsa ini, seperti para aktivis, tokoh masyarakat, dan lembaga-lembaga terkait. Tetapi kepada seluruh rakyat indonesia terutama pada generasi muda dan kaum pelajar, karena generasi muda dan kaum pelajar adalah salah satu tonggak pemersatu bangsa dan sebagai penerus untuk melanjutkan perjuangan dan cita-cita bangsa indonesia. Karakter bangsa indonesia sendiri akan tercermin dari karakter yang dimiliki oleh generasi mudanya, bagaimana bangsa indonesia untuk kedepanya menjadi lebih baik, hal itulah yang menjadi tanggung jawab kita sebagai generasi muda.
Untuk membudayakan budaya membaca haruslah dimulai dari diri kita sendiri, dengan kita memula, maka hal tersulit apapun jika dengan sungguh-sungguh hal yang diinginkan akan tercapai. Dalam realitanya, untuk memulai sesuatu hal tidaklah mudah, agar dapat membudayakan budaya membaca pada diri masing-masing, maka terlebih dahulu haruslah memahami pentingnya budaya membaca, akibat apa yang ditimbulkan jika kita tidak sering membaca, manfaat apa yang didapat dari membaca, dan trik apa yang cocok digunakan agar minat baca kita tinggi terhadap bahan-bahan bacaan yang ada. Dengan begitu, reformasi sosial dari gerakan kebudayaan membaca akan terlaksana dengan baik, juga kebangsawanan, kemewahan, dan politik ekonomi yang dulunya sebagai panglima, sekarang telah berubah ke ilmu pengetahuan, serta pikiran dan keberaksaraan kembali menjadi ukuran kehormatan dalam kehidupan. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar